Kegelisahan Tjutju Widjaja, Sosok Pelukis “Kompleks” Asal Kota Kembang

JAKARTA – Untuk kesekian kalinya, seniman asal Kota Kembang Bandung, Tjutju Widjaja menggelar pameran tunggal. Kali ini bertemakan ‘HEAR NO EVIL SEE NO EVIL‘ di Cemara 6 Galeri Jakarta, Sabtu (13-26/2/2016). Pameran dibuka oleh seniman Dr. Melani Setiawan M.S.C dan dikuratori oleh Rifky Effendy Tjutju Widjaja. Keunikan pribadi Tjujtu Widjaja adalah karena latar belakang identitasnya yang “kompleks”.

Kompleks yang dimaksud dalam hal ini adalah luas, beragam, dan banyaknya hal yang membentuk identitas seorang Tjutju Widjaja. Tjutju Widjaja adalah seorang seniman, jurnalis, dosen, pengusaha yang juga sangat aktif beraktivitas dalam bidang sosial melalui beberapa yayasan sosial yang diikutinya.

Latar belakang pendidikan formal yang pernah diikutinya juga sangat beragam; Tjujtu pernah mengenyam pendidikan kedokteran, mendalami seni melukis kaligrafi China hingga studi mengenai manajemen pemasaran. Tjutju Widjaja lulus sebagai Sarjana Seni dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Maranatha dan melanjutkan studi di bidang Seni Rupa di Program Pascasarjana, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB).

Ada yang menarik ketika membandingkan sosok Tjutju Widjaja dengan karya-karya yang ia pamerkan kali ini, keunikan ini sangat dominan terutama dalam hal pemilihan tehnik, medium dan bahasa estetika yang seolah kontradiktif dengan sosok seorang Tjutju Widjaja. Sudah sejak lama Tjutju tertarik pada Pop Art, bahkan langgam seni rupa kontemporer itu sangat mempengaruhi proses materialisasi gagasan-gagasannya selama ini.

Tjutju juga sangat takjub terhadap perkembangan. Semua ketertarikan pada Pop Art, Fotografi dan Digital Imaging ini terjadi di usia Tjutju yang tidak lagi muda. Orang seusia Tjutju mungkin akan merasa ‘asing’ dengan perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, namun rasa ‘asing’ ini justru memicu semangat Tjutju Widjaja untuk belajar dan beradaptasi bukan saja dalam hal teknologi semata, namun juga dalam hal ‘baru’ bagi Tjutju, termasuk dalam hal ini; Seni Rupa Kontemporer.

Gagasan karyanya memang berangkat dari kekhawatiran dirinya terhadap anak-anak -melalui perilaku cucu-cucunya -kepada dampak dari kemajuan teknologi komputer, gadget dan sosial media, juga beban dari kompetisi sistem pendidikan sekarang ini.

“Mereka tidak lagi punya waktu untuk bermain mengenal lingkungannya. Sekarang anak-anak lebih suka berlama-lama di kamar dengan gadgetnya. Waktu bermain pun semakin pendek karena mereka setelah sekolah juga harus menjalani berbagai pelajaran tambahan. Mereka harus berkompetisi untuk mendapatkan nilai yang
paling tinggi. Pada lukisannya yang dipamerkan tergambarkan berbagai persoalan ini secara lugas,” katanya.

Tjutju membayangkan bagaimana kemudian membayangkan mereka ketika dewasa? Nilai-nilai kehidupan apa dan bagaimana yang akan mereka yakini kemudian ? Tentunya persoalan ini bukan hanya dialami oleh Tjutju Widjaja. Banyak orang tua menghadapi persoalan ini. Sebuah dilema terutama dalam kehidupan masyarakat urban , baik di kota besar maupun pinggiran.

Satu sisi kemajuan teknologi memberikan pengaruh kebaikan, tetapi disisi lain mendatangkan masalahancaman dan kerusakan. Hal ini bukan lagi menyangkut persoalan generation gap tetapi memang sesuatu yang harus dipertimbangkan kembali oleh banyak orang tua terhadap perilaku anak-anak mereka. Karya-karya Tjutju Widjaja memperlihatkan pendekatan persoalan dengan narasi yang lebih lugas dan dinamis kepada suatu problematika budaya kita sekarang. (abr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *