Jakarta, 24 Juli 2025 – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyiapkan langkah strategis untuk memperluas skema perpajakan atas aset kripto. Jika selama ini pengenaan pajak terhadap aset digital hanya berlaku saat kripto diperlakukan sebagai komoditas, kini pemerintah mulai mengarah pada kripto sebagai instrumen finansial yang lebih kompleks.
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, melihat langkah ini bukan tanpa alasan. Penggunaan kripto telah berkembang pesat, tidak hanya sebagai aset yang diperjualbelikan, tetapi juga sebagai alat investasi hingga derivatif. Kemenkeu melihat pentingnya perlakuan pajak yang lebih adaptif terhadap dinamika tersebut, seiring dengan upaya meningkatkan kepastian hukum dalam ekosistem keuangan digital nasional.
Menurut Calvin, perubahan pendekatan ini juga selaras dengan pengalihan otoritas pengawasan. Sejak awal 2025, pengawasan perdagangan aset kripto resmi berpindah dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Perpindahan ini menjadi penanda bahwa pemerintah memandang kripto bukan lagi sekadar barang dagangan digital, tetapi bagian dari sistem keuangan yang harus diawasi secara lebih ketat dan komprehensif. Pengawasan oleh OJK membuka jalan bagi regulasi yang lebih holistik. Ini juga memberikan dasar hukum untuk memperlakukan kripto sebagai instrumen keuangan,” ujarnya.
Pajak Kripto Saat Ini dan Rencana Perluasan
Sebelumnya, pemerintah telah memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari setiap transaksi kripto, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63/PMK.03/2022. Ketentuan ini berlaku selama kripto masih dikategorikan sebagai komoditas digital.
Sepanjang kuartal I tahun 2025 (Januari–Maret), penerimaan negara dari pajak transaksi kripto tercatat mencapai Rp1,21 triliun, mencerminkan antusiasme dan partisipasi masyarakat yang tinggi terhadap aset digital ini.
Namun ke depan, pengelompokan kripto sebagai instrumen finansial akan membuka ruang untuk pengenaan jenis pajak baru, khususnya yang berlaku dalam sektor jasa keuangan. Hal ini bisa mencakup perlakuan perpajakan atas aktivitas investasi kripto terstruktur, pengelolaan portofolio berbasis aset digital, dan mungkin layanan keuangan lainnya seperti derivatif kripto.
“Kami mendukung penuh langkah Kemenkeu untuk menyesuaikan regulasi pajak dengan realitas penggunaan kripto saat ini. Pengelompokan kripto sebagai instrumen finansial akan memberikan kejelasan bagi pelaku usaha dan investor dalam menjalankan aktivitasnya. Ini menjadi fondasi penting untuk mendorong inovasi di sektor keuangan digital,” ungkap Calvin.
Harapan Pelaku Industri
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa pembaruan skema pajak berbasis klasifikasi kripto sebagai instrumen finansial diyakini akan membawa sejumlah manfaat strategis yang dapat menstimulasi industri secara lebih luas. Termasuk di antaranya adalah peningkatan minat investor ritel dan institusional, serta bertambahnya volume perdagangan aset kripto, asalkan kebijakan pajak yang diterapkan selaras dengan harapan pelaku industri, terutama dalam hal kesetaraan perlakuan pajak dengan pasar modal atau saham.
“Kami sudah menyampaikan masukan kepada pihak Kemenkeu agar pengenaan pajak atas transaksi kripto dapat disejajarkan dengan skema perpajakan di pasar modal. Jika transaksi saham dikenakan pajak final yang lebih ringan, maka idealnya kripto pun diperlakukan serupa. Hal ini penting untuk menjaga daya saing industri kripto nasional di tengah kompetisi global,” jelas Calvin.
Ia menambahkan, pendekatan yang adil dan proporsional terhadap regulasi pajak akan menciptakan iklim usaha yang lebih sehat serta mendorong pertumbuhan ekosistem aset digital secara berkelanjutan di Indonesia.
Press Release ini juga tayang di VRITIMES