ariwisata Bali terus menunjukkan tren positif pada 2025. Kunjungan wisatawan yang meningkat, tingkat hunian hotel yang stabil, serta pertumbuhan ekonomi daerah menandakan kebangkitan yang lebih matang. Tantangan berikutnya adalah memastikan pengalaman yang kian nyaman, bersih, dan modern bagi semua wisatawan, utamanya dalam mendukung upaya menciptakan pariwisata yang bebas asap.
BALI – Pariwisata Bali terus menunjukkan tren positif pada 2025. Kunjungan wisatawan
yang meningkat, tingkat hunian hotel yang stabil, serta pertumbuhan ekonomi
daerah menandakan kebangkitan yang lebih matang. Tantangan berikutnya adalah
memastikan pengalaman yang kian nyaman, bersih, dan modern bagi semua
wisatawan, utamanya dalam mendukung upaya menciptakan pariwisata yang bebas
asap.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa masih banyak pelaku wisata merupakan konsumen dari
produk tembakau. Meski demikian, asap yang dihasilkan oleh produk tembakau
seperti rokok, berpotensi mengganggu kenyamanan.
Dalam konteks inilah
pendekatan pengurangan risiko atau harm
reduction menjadi relevan. Alih-alih berfokus pada larangan, pendekatan ini
menekankan penyediaan informasi akurat tentang opsi dengan risiko
lebih rendah bagi perokok
dewasa yang ingin beralih ke produk alternatif. Langkah ini juga menjawab dinamika
perilaku wisatawan mancanegara yang beragam, dengan tetap memperhatikan
batasan dan regulasi yang berlaku di daerah wisata.
Isu
ini menjadi pembahasan utama dalam SAPA BALI 2025: Sarasehan untuk Pariwisata
dan Bali Bebas Tar yang diselenggarakan Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) di
Denpasar.
Diskusi ini mempertemukan sains, industri pariwisata, dan pembuat
kebijakan untuk merumuskan langkah efektif dan tepat guna yang dapat langsung
dipraktikkan di lapangan. Tujuannya sejalan dengan semangat Bali sebagai
destinasi berkelas dunia: ramah, menjaga kebersihan udara, serta mendorong
inovasi layanan yang menghormati pilihan individu perokok dewasa.
Dekan FEB Undiknas
Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., menegaskan bahwa
perekonomian Bali sangat bergantung pada pariwisata yang menyumbang lebih dari
separuh PDRB daerah dengan multiplier effect
luar biasa. Karena itu, kenyamanan dan kualitas
lingkungan menjadi faktor utama agar pariwisata tetap tumbuh berkelanjutan.
“Kebiasaan merokok memang masih
kuat di Bali,
namun udara Bali idealnya bebas
dari racun dan asap tar. Nilai Tri Hita Karana mengajarkan kita menjaga harmoni manusia, alam, dan
budaya, termasuk dengan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.
Pendekatan harm reduction melalui opsi nikotin berisiko
lebih rendah tanpa
pembakaran dan tar dapat menjadi alternatif transisi, dengan kampanye
tidak menggunakan rokok konvensional
di ruang tertutup dan akomodasi yang diperkuat agar dipahami wisatawan. Yang
dicari wisatawan bukan hanya keindahan, tetapi juga pengalaman bersih, nyaman,
dan membuat mereka ingin kembali,” ujarnya.
Direktur
Eksekutif BPD PHRI Bali, Ida Bagus Purwa Sidemen, S.Ag., M.Si., menyampaikan
bahwa sektor perhotelan telah menerapkan standar usaha berbasis risiko dan
sertifikasi kesiapsiagaan bencana, meski implementasi peraturan gubernur yang
mendorong hotel bergabung dalam asosiasi masih terbatas dengan baru sekitar 20
persen hotel yang menjadi anggota PHRI. Ia menambahkan banyak hotel kini menjalankan kebijakan
bebas asap rokok
yang
terbukti lebih disukai tamu, khususnya keluarga, bahkan ada yang melarang
karyawan merokok di area hotel. Menurutnya, informasi mengenai produk
tembakau alternatif tanpa
asap dan tar juga berpotensi menjadi
pilihan, asalkan disertai
sosialisasi berbasis sains agar seluruh pihak memahami dengan benar.
“Fokus kami adalah menghadirkan pengalaman menginap yang lebih nyaman dan sehat, sehingga
standar layanan perhotelan Bali dapat terus
meningkat,” ujarnya.
Anggota Komisi IX
DPR RI, Tutik Kusuma Wardhani, S.E., M.M., M.Kes., menekankan pentingnya sosialisasi perilaku hidup sehat,
khususnya di pedesaan
di mana kebiasaan merokok cenderung lebih tinggi dibandingkan di kota. Ia
menyebut penguatan sosialisasi pentingnya aktivitas fisik, pola makan seimbang,
serta pengurangan gula, garam, dan lemak perlu terus digencarkan agar faktor
risiko penyakit dapat ditekan.
“Tidak ada yang bercita-cita sakit, namun bila
perilaku tidak sehat tidak berubah, beban pembiayaan BPJS bisa membengkak. DPR
terus mengatur agar pembiayaan tetap terkendali, karena jika derajat kesehatan
masyarakat membaik maka beban biaya pengobatan akan menurun, sehingga ruang
fiskal APBN bisa lebih besar dialokasikan ke daerah, termasuk Bali, untuk peningkatan
layanan publik,” jelasnya.
Forum juga mendorong kolaborasi antara pelaku industri, komunitas kesehatan, dan kampus di Bali untuk mengukur dampak secara
berkala melalui survei kepuasan tamu dan audit kualitas udara di tempat wisata.
Hasilnya diharapkan menjadi rujukan bagi seluruh wilayah, sembari menjaga citra
Bali sebagai destinasi yang berkelas dan berwawasan lingkungan.
Bali
perlu memberikan pilihan bebas asap bagi perokok dewasa tanpa menurunkan
kenyamanan wisatawan. Dari sains ke layanan, dari kebijakan ke praktik, inilah
wujud pariwisata yang bukan hanya menarik dikunjungi, tetapi juga nyaman
dijalani. Dengan kolaborasi yang tepat, Bali bebas asap dapat menjadi standar
baru destinasi wisata kelas dunia.
Press Release ini juga tayang di VRITIMES