Asmanah bersama anaknya yang mengalami keterbelakangan mental, harus rela menghuni rumah berukuran 4 x 4,5 meter. Sehari-hari, untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Asmanah bekerja sebagai buruh serabutan.
Dinding rumah yang terbuat dari bilik bambu tampak telah rapuh, bahkan pada salah satu sisi, lubang besar tampak menganga. Atap rumah pun serupa, tak sedikit genting yang telah pecah, sementara pintu hanya ditutupi bilik bambu, karena pintu telah lama rusak.
Kondisi di dalam rumah pun seperti kapal pecah, bahkan rumah tersebut tidak memiliki kamar mandi. Asmanah setiap hari harus menumpang mandi dan mencuci di sumur tetangga, sementara untuk buang air besar, ia harus pergi ke kebun bambu di kampung setempat.
“Maunya sih rumah ini diperbaiki, tapi mau pakai apa, buat makan aja saya susah,” kata Asmanah, di kediamannya, Selasa (7/8/2018).
Dituturkannya, beberapa kali ada yang datang untuk menawarkan bantuan. Mereka memotret rumah dan mewawancarainya, namun hingga saat ini belum ada realisasi. Padahal mereka menawarkan bantuan untuk membedah rumah tersebut. “Saya cuma bisa pasrah, mau gimana lagi,” imbuhnya.
Untuk memenuhi kebutuhannya, Asmanah terkadang mengandalkan kebaikan hati tetangganya. “Suka ada yang minta tolong untuk bantu-bantu tetangga. Upahnya saya pakai untuk makan,” katanya.
Terpisah, Camat Jayanti Chaidir membenarkan kondisi Asmanah. Ia mengaku sedang mengajukan Asmanah mendapatkan bantuan melalui program bedah rumah. “Sedang kita upayakan, supaya rumahnya bisa dibedah, dan menjadi rumah yang layak huni,” tandasnya. (anw)