BANTEN | KANAL TANGERANG — Wakil Ketua DPRD Banten M Nawa Said Dimyati menyerukan Pemerintah Provinsi Banten beserta para tenaga honorer melakukan upaya executive review atas rencana MenPanRB menghapus tenaga honorer pada November mendatang.
Menurut politisi Partai Demokrat itu, rencana Pemerintah Pusat menghapus tenaga honorer di pemerintah akan berdampak terganggunya pelayanan kepada masyarakat. Di lain sisi, untuk mengangkat sebanyak 17 ribu tenaga honorer di Banten menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) juga hal yang tidak memungkinkan, karena kemampuan APBD Banten yang terbatas.
“Penghapusan honorer itu memang akan menjadi problem mendasar, terkait dengan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Berbicara Banten, itu ada 17 ribu orang pegawai honorer. Kalau semuanya diangkat menjadi PPPK, maka tentu APBD tidak akan cukup,” ujarnya, Kamis 9 Juni 2022.
Agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat, maka pihaknya mendorong kepada Pemprov Banten serta para tenaga honorer yang hendak memperjuangkan nasibnya, untuk dapat mendesak dilakukannya executive review atau koreksi terhadap rencana penghapusan tenaga honorer tersebut kepada MenpanRB.
“Kami juga mendorong agar teman-teman mendorong melalui fraksi-fraksi di DPR RI juga agar melakukan legislatif review. Jika keduanya tidak bisa dilakukan, maka mau tidak mau menggunakan mekanisme Judicial Review,” ucapnya.
Selain itu, pria yang akrab disapa Cak Nawa tersebut juga mendesak kepada Pemprov Banten agar dapat menyediakan skema terbaik, apabila kebijakan penghapusan tenaga honorer itu benar-benar harus dilakukan.
“Jadi Gubernur harus menyiapkan skema apabila pada 2023 itu harus dieksekusi, bagaimana kita melayani masyarakat khususnya pendidikan dan kesehatan. Kalau yang lain penting juga, tapi bisa dilakukan assesment, dari 17 ribu itu sebenarnya kita butuh berapa,” ucapnya.
Secara tegas, Cak Nawa meminta agar Pemprov Banten dapat menjadikan persoalan tenaga honorer sebagai persoalan yang harus segera diselesaikan. Jangan sampai menganggap persoalan itu sebagai persoalan yang biasa.
“Jangan sampai ini dianggap biasa-biasa saja. Ketika dianggap biasa-biasa saja, nanti justru malah menimbulkan problema sosial karena 17 ribu orang harus di-PHK dan problema pelayanan masyarakat,” tegasnya. (Red)