JAKARTA – Pakar Kesehatan Masyarakat, Prof. Tjandra Yoga Aditama, menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki empat tujuan fundamental yang berdampak besar bagi masa depan bangsa. Ia menyebutkan bahwa program ini bukan hanya terkait gizi, tetapi juga kesehatan, pendidikan, serta ekonomi dan sosial masyarakat.
“Satu tentu saja gizi. Kedua kesehatan. ketiga pendidikan. Keempat dampak ekonomi dan sosial. Kalau dilakukan di satu daerah bisa berdampak. Tentu saja ini bermanfaat besar bagi bangsa dan sudah dilakukan di banyak negara, jadi kita sambut baik upaya ini,” ujarnya dalam perbincangan di saluran YouTube On Point Media.
Menurut Prof. Tjandra, MBG juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Ia menjelaskan bahwa program ini selaras dengan beberapa target penting yang harus dicapai Indonesia pada 2030. “Jadi pada 2030 ada 17 goals SDGs yang harus dicapai. Goal nomor 3 kesehatan, tapi goals nomor 2 dan 4 soal kelaparan dan pendidikan. Jadi pelaksanaan ini akan menyasar beberapa goals sekaligus, dan berperan penting,” ujarnya.
Lebih lanjut, Prof. Tjandra menyoroti bahwa dampak kesehatan dari program MBG tidak hanya terlihat dari perbaikan gizi, tetapi juga peningkatan kesadaran masyarakat tentang hidup sehat. Ia menyebut bahwa program ini dapat menjadi dorongan besar untuk meningkatkan aktivitas dan perilaku hidup sehat di tingkat keluarga dan komunitas.
Selain itu, program MBG dinilai memiliki potensi kuat dalam meningkatkan motivasi belajar dan kehadiran anak di sekolah. Prof. Tjandra mengungkapkan bahwa penyediaan makanan bergizi terbukti meningkatkan minat anak untuk bersekolah, sekaligus menciptakan lingkungan belajar yang lebih stabil dan positif. “Dampak kesadaran kesehatan juga menambah. Dan bahkan pendidikan, jadi keinginan masuk sekolah jadi tinggi, gara-gara makan bergizi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Prof. Tjandra menyebut adanya dampak sosial yang lebih luas, termasuk penurunan angka perkawinan dini. Ia menjelaskan bahwa ketika anak-anak lebih termotivasi untuk bersekolah, mereka cenderung terhindar dari perkawinan pada usia muda. “Bahkan ada lebih jauh lagi, bahkan di perkawinan dini anak itu jadi turun. Karena tadinya anak tidak sekolah dikawinin, saat ini anak jadi termotivasi untuk bersekolah,” tutupnya





